Aeknaetek

Selalu Ada Keindahan di Setiap Lorong Kehidupan

Aku milik Siapa?

Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih mengenal diriku sebenar-benarnya. Tak ada yang berubah, dari ujung kaki hingga kepalaku semua masih utuh menjadi milikku. Bahkan isinya pun aku yakin, sepenuhnya aku mengenalnya, itu adalah diriku. Tetapi semakin aku mencoba untuk mengenal dan masuk lebih jauh lagi dengan beragam pertanyaan, justru aku semakin ragu. Keyakinanku; bahwa aku mengenal diriku semakin kabur.

Rasanya aku telah kehilangan otoritas atas diriku, kemerdekaan itu telah dirampas yang aku sendiri tak tahu oleh siapa, walau sejujurnya aku merasakannya. Aku tak dapat lagi berhitung untuk kali yang keberapa aku melakukan sesuatu bukan karena aku mau, tetapi sekelilingku menginginkan tindakan itu dariku. SEmua itu kulakukan atas nama ‘norma’ dan bukan kehendak diriku. Itu semua adalah kebenaran, karena orang-orang di sekelilingku pun berlaku demikian. Bertindak beda berarti penyimpangan, walau sesungguhnya itu adalah tindakan yang berpihak pada masa depan. Sanksinya, aku bisa diasingkan dari mereka, walau sebenarnya aku tak terasing dari diriku.

Aku teringat banyak orang-orang yang berpihak pada diri dan keyakinannya, menjadi orang besar. Ia mampu mengubah dunia, tetapi aku tak pernah tahu apakah mereka pernah mengerti kebesarannya. Mereka dikenang dan diagungkan saat kebanyakan dari mereka telah tiada. Saat mereka hidup, sanksi dan tekanan yang mereka terima, dan membuat mereka menjadi asing bagi sesamanya walau mereka tak pernah terasing.

Lihat saja bagaimana Copernicus harus berjuang sendirian, ia ditertawakan bahkan tragisnya harus mati sebagai akibat pada keyakinannya pada diri sendiri. Tetapi semua pada akhirnya tahu bahwa ia benar, kesetiannya pada dirinya tak sia-sia. Ia mencoba memegang teguh otoritas dirinya, ia tidak menggadaikannya pada kemauan sekelilingnya. Andainya saja ia pasrah, kita pasti masih terjebak dalam kebodohan yang sama dengan orang-orang di sekeliling Copernicus.

Aku bersyukur aku selamat, namun sayangnya justru pada saat aku terasing dari diriku sendiri. Aku tak yakin pada bagian mana yang menjadi bagian yang sebenar-benarnya dari diriku. Televisi membesarkanku dengan beragam propaganda, lingkungan ‘mendesakku’, semua itu membuat aku terbenam. Aku tak punya pilihan, di tempat dimana kita seolah-olah bisa memilih. Tetapi pilihan yang kelihatannya beragam itu sama-sama membawaku pada satu kata ; ketergantungan. Dan itulah kenyataan dari kehidupan yang memang sedang diarahkan oleh mereka (pemilik modal) pada bentuk kehidupan instant. Siang malam kita diteror oleh kekuatan kapitalisme. Masihkah aku mampu memenangkan pertarungan ini dan mengembalikan otoritas diriku pada khittahnya? Rasanya terlalu berat.

Ujung kaki hingga ujung rambutku, rasanya semua sudah ada yang memilikinya. Dari perusahaan sepatu hingga perusahaan Shampoo. Tiap penggal dari tubuhku, kini telah menjadi objek dari komersialisasi. Aku diarahkan pada figure-figur tertentu, para pengiklan hidup, parahnya kita menyebutnya seleb, harapannya aku menjadi ‘seperti’ figure-figur itu. Padahal mereka adalah boneka, boneka para ‘pemilik’ kehidupan kita, meski aku meyakini mereka bukan Tuhan.

Aku rasa aku tak akan menang bertarung untuk mengembalikan diriku, tetapi bukan berarti aku tak mencoba membangun jati diri. Aku mencoba menjangkau diriku dalam batas-batas otoritasku, dan menikmati sisanya.

April 22, 2008 - Posted by | Renungan

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar